KULTUR SEKOLAH
NAMA :
WIWID SITI HIDAYAH
NIM :
11901106
KELAS/SEMESTER : PAI G/4
MAKUL :
MAGANG 1
TOPIK :
KULTUR SEKOLAH
PENGERTIAN KULTUR SEKOLAH
Secara etimologis, budaya berasal dari bahasa Inggris yakni
culture. Culture atau diterjemahkan budaya adalah serangkaian aturan yang
dibuat oleh masyarakat sehingga menjadi milik bersama dan dapat diterima oleh
masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (2003: 72) kebudayaan adalah seluruh
sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Kultur dijadikan sebagai pedoman
hidup bersama bagi kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku,
sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun non-fisik. Yang berwujud
fisik ditampakan dalam bentuk artifak, sedangkan yang non-fisik
dimanifestasikan dalam bentuk kegiatan social dan seni. Secara alamiah suatu
kultur akan diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Kultur
atau budaya adalah sesuatu kebiasaan atau pola perilaku normatif yang merupakan
hasil olah pikir, olah rasa, dan cara bertindak. Salah satu ilmuwan yang banyak
memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah antropolog dari Amerika
Serikat yakni Clifford Geertz. Antropolog ini mendefinisikan kultur sebagai
suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara
eksplisit maupun implisit.
Sekolah merupakan salah satu tempat berkembangnya pewarisan kultur
dari generasi ke generasi berikutnya. Pengertian kultur sekolah beraneka ragam.
Salah satunya yang dinyatakan Stolp dan Smith (1995: 78-86) bahwa
kultur sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi atau penemuan oleh
suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang berhasil
baik serta dianggap valid dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai
cara-cara yang dianggap benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan
masalah-masalah tersebut.
Kultur sekolah merupakan bentuk komitmen bersama yang dipakai untuk
melakukan hidup bersama serta diterapkan memecahkan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi sekolah dalam mencetak lulusan yang cerdas dan berakhlak mulia. Para
ahli lain mendefinisikan budaya sekolah sebagai sebagai sebuah sistem orientasi
bersama (norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar) yang dipegang oleh
warga sekolah, yang akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang
berbeda dari sekolah lain. Jadi, kultur sekolah sebagai keyakinan dan
nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai
suatu warga masyarakat sekolah.
Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa budaya sekolah adalah
suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
kebiasaankebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang
diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai
problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi
internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada
anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana
seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi
berbagai situasi dan lingkungan yang ada. Kultur sekolah diyakini memiliki
peran dalam menghasilkan kinerja yang terbaik pada masing-masing individu, kelompok
kerja atau unit kerja sekolah. Oleh karena itu, sekolah sebagai satu institusi,
perlu membangun hubungan sinergitas antarwarga sekolah yang positif agar
memperbaiki kualitas sekolah yang bersangkutan. Beberapa kajian menunjukkan
salah satu faktor penghambat pencapaian prestasi sekolah ialah kultur atau
budaya sekolah. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas sekolah perlu
dilakukan melalui sentuhan budaya sekolah terlebih dahulu jika mutu pendidikan
ingin diperbaiki. Jika ditinjau dari usaha peningkatan kualitas sekolah, ada
tiga jenis kultur sekolah :
1. Kultur yang positif, adalah kegiatan-kegiatan yang mendukung (pro)
peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya kerjasama dalam mencapai prestasi,
penghargaan terhadap yang berprestasi, dan komitmen terhadap belajar.
2. Kultur sekolah negatif, adalah kegiatan-kegiatan yang kontra
peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya siswa takut berbuat salah, siswa
takut bertanya/mengemukakan pendapat, siswa jarang melakukan kerjasama dalam
memecahkan masalah.
3. Kultur sekolah yang netral di antaranya adalah: acara arisan
keluarga sekolah, seragam guru, dll.
IDENTIFIKASI KULTUR SEKOLAH
Beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai kultur sekolah,
misalnya:
1. Artifak
a. dapat diamati seperti: arsitektur, tata ruang, eksterior dan
interior, kebiasaan dan rutinitas, peraturan-peraturan, cerita-cerita,
upacaraupacara, ritus-ritus, simbol, logo, slogan, bendera, gambar-gambar,
tandatanda, sopan santun, cara berpakaian.
b. tak dapat diamati: berupa norma-norma kelompok atau cara-cara
tradisional berperilaku yang telah lama dimiliki kelompok.
2. Nilai-nilai dan keyakinan: Nilai dan keyakinan yang ada di sekolah
dan menjadi ciri utama sekolah, misalnya: ungkapan Rajin Pangkal Pandai; Air
Beriak Tanda Tak Dalam, dan berbagai penggambaran nilai dan keyakinan lain
MACAM-MACAM KULTUR SEKOLAH
Kultur sekolah sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun prilaku
dari warga sekolah. Kultur sekolah sendiri dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
kultur sekolah yang positif, kultur sekolah yang negatif dan kultur sekolah
yang netral, yaitu:
1. Kultur sekolah positif meliputi kegiatan-kegiatan yang mendukung
(pro) pada peningkatan kualitas pendidikan, terdiri dari
a) Ada ambisi untuk meraih prestasi, pemberian penghargaan pada yang
berprestasi;
b) Hidup semangat menegakan sportivitas, jujur, mengakui keunggulan
pihak lain;
c) Saling menghargai;
d) Trust (saling menghargai).
2. Kultur sekolah negatif meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak
mendukung (kontra) pada peningkatan kualitas pendidikan, terdiri dari:
a) Banyak jam kosong dan absen dari tugas
b) Terlalu permisif terhadap pelanggaran nilai-nilai moral
c) Adanya friksi yang mengarah pada perpecahan, terbentuknya kelompok
yang saling menjatuhkan
d) Menekan pada nilai pelajaran bukan pada kemampuan.
3. Kultur sekolah netral meliputi kegiatan yang kurang berpengaruh
positif maupun negatif pada peningkatan kualitas pendidikan, terdiri dari:
a) Seragam guru
b) Kegiatan arisan sekolah, jumlah fasilitas sekolah dan sebagainya.
(Farida Hanum, 2013: 206).
Terciptanya kultur sekolah tidak
lain adalah untuk memperbaiki kinerja sekolah meliputi kepala sekolah, guru,
siswa, karyawan maupun orang tua siswa, hanya akan terjadi manakala kualifikasi
budaya sekolah tersebut sehat, solid, kuat, positif, dan profesional. Artinya,
bahwa budaya sekolah menjadi komitmen luas bagi warga dan menjadi kepribadian
sekolah, serta didukung oleh stakeholder sekolah. Dengan budaya sekolah yang
sehat, suasana kekeluargaan, kolaborasi, semangat untuk maju, dorongan bekerja
keras dan kultur belajar mengajar yang bermutu dapat diciptakan. Siswa dan guru
akan saling bekerjasama untuk berperilaku yang baik, bekerja maksimal,
meletakkan target tertinggi serta mewaspadai adanya kultur negative yang
menyimpang dari norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan yang menjadi komitmen
bersama.
Perbaikan sistem persekolahan pada
intinya adalah membangun sekolah dengan kekuatan utama sekolah tersebut.
Perbaikan mutu sekolah perlu memahami budaya sekolah sebagai modal dasarnya.
Melalui pemahaman budaya sekolah, maka aneka permasalahan sekolah dapat
diketahui dan pengalaman-pengalamannya dapat direfleksikan. Setiap sekolah
memiliki keunikan berdasarkan pola interaksi komponen sekolah secara internal
dan eksternal. Oleh sebab itu, dengan memahami ciri-ciri kultural sekolah akan
dapat diusahakan tindakan nyata untuk perbaikan mutu.
Nilai-nilai, keyakinan dan
asumsi-asumsi kehidupan itu begitu kuat dan dan tidak mudah diamati serta
sangat sukar diubah. Jika pencapaian mutu memerlukan upaya mengubah kondisi dan
perilaku sekolah dan warga sekolah maka peran kondisi kultural menjadi sangat
sentral. Hanya perubahan nilai-nilai yang diyakini sekolah sajalah yang dapat
menggerakkan usaha perbaikan mutu sekolah dalam jangka panjang. Karena hasil
penelitian menunjukkan bahwa perubahan dengan strategi structural tidak
berhasil mengubah keadaan, dan kalaupun mampu hanyalah perubahan jangka pendek
(Kotter, dalam Moerdiyanto 1996:123).
Secara karakteristik kultur sekolah
terdiri dari kultur positif dan kultur negatif. Kultur positif adalah budaya
yang membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan bagi warganya. Mutu kehidupan
warga yang diharapkan adalah warga yang sehat, dinamis, aktif, dan profesional.
Kultur positif ini akan memberi peluang sekolah beserta warganya berfungsi
secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki
semangat tinggi, dan akan mampu terus berkembang. Kultur positif ini harus
terus menerus dikembangkan dari kohor siswa ke kohor siswa berikutnya, dan dari
kelompok satu ke kelompok lainnya. Kultur positif dan kuat memiliki kekuatan
dan menjadi modal dalam melakukan perubahan dan perbaikan.
Sedangkan kultur negatif adalah
budaya yang organisasi yang bersifat anarkhis, negatif, beracun, bias, dan
dominatif. Sekolah yang merasa puas dengan yang apa yang telah dicapai
merupakan bagian dari kultur negatif, karena mereka cenderung tidak ingin
melakukan perubahan dan takut mengambil risiko terhadap perubahan.Akibatnya
kualitas akan menurun. Kultur sekolah bersifat dinamis, sehingga perubahan pola
perilaku dapat mengubah sistem nilai dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah
sistem asumsi yang ada, walaupun ini sangat sulit. Namun yang jelas dinamika
kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan
bijak dan sehat dapat membawa perubahan positif. Kultur sekolah itu milik
kolektif dan merupakan perjalanan sejarah sekolah, produk dari berbagai
kekuatan yang masuk ke sekolah. Sekolah perlu menyadari secara serius mengenai
keberadaan aneka kultur subordinasi yang ada seperti kultur sehat dan tidak
sehat, kultur kuat dan lemah, kultur positif dan negatif dan konsekuensinya
terhadap perbaikan sekolah.
Menurut Kotter memberikan gambaran
tentang kultur dengan melihat dua lapisan. Lapisan pertama sebagian dapat
diamati dan sebagian lainnya tidak diamati. Lapisan yang bisa diamati antara
lain desain arsitektur gedung, tata ruang, desain eksterior dan interior
sekolah, kebiasaan, peraturan-peraturan, cerita-cerita, kegiatan upacara,
ritual, simbol-simbol, logo, slogan, bendera, gambar-gambar yang dipasang,
tanda-tanda yang dipasang, sopan santun, cara berpakaian warga sekolah (dalam
Moerdiyanto, 1996: 167-178)
Sedangkan hal-hal di balik itu tidak
dapat diamati, tidak kelihatan dan tidak dapat dimaknai dengan segera. Lapisan
pertama ini berintikan norma perilaku bersama warga organisasi yang berupa
norma-norma kelompok, cara-cara tradisional berperilaku yang telah lama
dimiliki suatu kelompok masyarakat (termasuk sekolah), Norma-norma perilaku ini
sulit diubah, yang biasa disebut sebagai artifak.
Lapisan kedua merupakan nilai-nilai
bersama yang dianut kelompok berhubungan dengan apa yang penting, yang baik,
dan yang benar. Lapisan kedua ini semuanya tak dapat diamati karena terletak
dalam kehidupan bersama. Kultur pada lapisan kedua ini sangat sulit atau bahkan
sangat kecil kemungkinannya untuk diubah serta memerlukan waktu yang lama.
Kultur sekolah beroperasi secara
tidak disadari oleh para pendukungnya dan telah lama diwariskan secara turun
temurun. Kultur mengatur prilaku dan hubungan internal serta eksternal. Hal ini
perlu dipahami dan digunakan dalam mengembangkan kultur sekolah. Nilai-nilai
baru yang diinginkan tidak akan segera dapat beroperasi bila
berhadapan/berbenturan dengan nilai-nilai lama yang telah berurat berakar akan
dapat menghambat introduksi perilaku baru yang diinginkan
REFERENSI
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131808327/pengabdian/1pengembangan-kultur-sekolah.pdf
https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB21413141013.pdf
Komentar
Posting Komentar